Fakultas Hukum Unhas Gelar FGD Bahas Peran DPD RI Dalam Harmonisasi Legislasi Daerah

Bagikan

MAKASSAR, Linisiar.ID – Fakutas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) bekerjasama dengan Panitia Urusan Legislasi Daerah DPD RI dalam rangka kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Peran DPD RI Dalam Harmonisasi Legislasi Daerah. Kegiatan ini diadakan di Ruang promosi Doktor Fakultas Hukum Unhas, 11 Oktober 2018

Kegiatan ini menghadirkan 11 orang Anggota DPD RI, para ahli yang terdiri atas profesor, para undangan dari pemerintah daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Para pembicara yang hadir dalam kegiatan ini diantaranya adalah, Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH., M.Hum (Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unhas), Usman Lonta (Anggota DPRD Provinsi Sulsel) dan Sriyani (Kanwil Hukum dan HAM). Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sulsel yang diundang sebagai salah satu narasumber tidak bisa hadir, padahal sedianya yang bersangkutan diharapkan untuk memaparkan bagaimana prolegda dan kualitas peraturan daerah.

Bahar Ngitung, Wakil Ketua Panitia Urusan Legislasi Daerah DPD RI dalam sambutannya menyampaikan, bahwa peran anggota DPD sebagai senator mulai mengalami peningkatan, meskipun masih perlu terus di dorong agar secara hukum memiliki kekuatan legitimasi.

Dekan Fakultas, Prof. Dr. Farida Patittingi, SH., M.Hum menyampaikan bahwa perlu dilakukan kerjasama yang serius antara DPD dengan universitas sehingga ada dorongan intelektual untuk memperkuat kewenangan DPD dalam rangka cek and balances.

Acara ini berjalan sangat dialogis. DIpandu oleh Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Hukum Unhas, Dr. Muh. Hasrul, SH., MH, kegiatan ini sukses memberikan stimulant kepada peserta untuk berdiskusi.

Dalam Pembacaan kesimpulan hasil FGD yang disampaikan oleh ketua Panitia kegiatan FGD, Fajlurrahman Jurdi, ada 8 (Delapan) pokok pikirann yang disimpulkan, yakni:

Pertama, Bahwa Kewenangan DPD dalam konstitusi saat ini hanya sebagai setengah hati, karena berupa memberi Pertimbangan kepada DPR, karena DPD hanya “dapat mengajukkan”, “ikut membahas”, dan “dapat melakukan pengawasan”. Karena itu perlu dilakukan upaya terencana, sistematis dan konstruktif untuk memperkuat kewenangan DPD RI dalam rangka menjalankan fungsi check and balances. Ibu dekan tadi menyebutnya kewenangan setengah hati, kita menyebutnya kewenangan tanpa jenis kelamin, karena DPD tidak punya taji menghadapi DPR.

Kedua, Bahwa Dalam penyusunan rancangan peraturan daerah, perlu diperhatikan mengenai ketersambungan logis antara naskah akademik dan naskah Ranperda, sehingga saat menetapkan suaru Ranperda untuk menjadi Perda, ada kompatibilitas konten. Banyak kasus bahwa Jarak antara NA dan Perda yang akan ditetapkan terlalu jauh, bagaikan telinga kiri dan telinga kanan yang tidak pernah bertemu. Antara Riset kebutuhan di dalam NA dengan Keputusan Politik dalam bentuk perda tidak ada relevansinya. Apakah ini disebabkan oleh dominasi the will to power, kehendak untuk berkuasa, ataukan karena titik temu oligarki yang selalu tak pernah sama?.

Ketiga, Bahwa Kewenangan DPD untuk melakukan pemantauan dan mengevaluasi Perda mesti diatur dengan hati-hati, karena jangan sampai melampaui konstitusi dan hukum positif, tetapi juga tidak boleh mengabaikan kebutuhan daerah meskipun tidak diatur secara rigid di dalam konstitusi dan hukum positif. Konstitusi itu tidak saja tertulis, tetapi juga tidak tertulis yang disebut sebagai living constitution. Dengan berpijak pada konstruksi berpikir konstitusi yang hidup dan hukum positif ini, maka perlu dipikirkan jalan tengah agar konstitusi dan hukum positif tidak terabaikan dan kebutuhan daerah dapat diperhatikan.

Keempat, Bahwa Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan perundang-undangan adalah upaya atau proses untuk mewujudkan keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan dan keseimbangan antar berbagai unsur dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan sebagai satu kebulatan ide yang utuh, kompak atau kokoh sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis. Karena itu diperlukan kewenangan DPD yang kuat.

Kelima, Pembentukan Perda dianggap sebagai pekerjaan yang harus ada di setiap daerah, sehingga tanpa kebutuhan pun, Perda harus dibuat. Karena itu terjadi over regulasi, dan malah disharmoni antara satu perda dengan perda yang lain. Hal ini tidak terjadi karena pembentukan perda di daerah justru menjadi proyek kecil-kecilan yang harus selalu diadakan.

Keenam, Bahwa untuk memperkuat basis data dan basis argumentasi konseptual suatu Ranperda, maka FGD, Rapat Dengar Pendapat dan Kunjungan kerja harus dioptimalkan. Optimalisasi yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan kuantifikasi kegiatan, tetapi juga penggunaan terhadap Data dan bahan yang diperoleh dalam FGD, RDP serta kunjungan itu harus dioptimalkan.

Ketujuh, Bahwa sosialisasi Ranperda tidak dilakukan, sehingga partisipasi publik untuk memberi masukan terhadap konten perda tidak terlalu optimal. Itulah pula yang menjadi masalah sehingga terjadi kedangkalan isi norma, karena tidak menyerap kebutuhan di dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya sosialisasi secara massif kepada segenap lapisan masyarakat saat penyusunan Ranpeda dilakukan.

Kedelapan, Bahwa dalam rangka menjalankan fungsi pemantauan dan evaluasi terhadap Perda, DPD nantinya tidak perlu proaktif dalam melakukan pemantauan dan evaluasi, tetapi hanya bertindak reaktif, dimana DPD hanya dapat melakukan pemantauan apabila ada aduan dari masyarakat mengenai Perda tertentu. Hal ini dilakukan guna menghindari menumpuknya pekerjaan untuk DPD RI, karena jumlah Perda di setiap daerah mencapai angka puluhan ribu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *